PKBM BERBASIS MASYARAKAT

: PUSAT INFORMASI PNF

Oleh : Drs. Fajar
(Pamong belajar SKB Nganjuk dan Direktur PKBM Bina Putra Bangsa Ponorogo)

PKBM sebagai tempat pembelajaran dan pusat informasi masyarakat merupakan agen penting bagi pengembangan program pendidikan non formal. Sebaran PKBM saat ini sudah menjangkau sampai pelosok-pelosok negeri. Keberadaannya sudah merambah hampir seluruh kecamatan di Indonesia. Namun apakah pemanfaatannya sudah maksimal ?

1. PKBM berbasis masyarakat ( Community Based)
Menurut DR. H. Zainuddin Arif M.S, PKBM saat ini dapat dikategorikan menjadi tiga golongan yaitu PKBM berbasis masyarakat, PKBM berbasis lembaga, dan PKBM komprehensif. Dalam hal ini penulis memfokuskan pada fungsi PKBM berbasis masyarakat dengan penekanan kasus pada PKBM binaan SKM Nganjuk dan PKBM yang dikelola penulis yaitu PKBM Bina Putra Bangsa Ponorogo.
PKBM berbasis masyarakat (community based) merupakan PKBM yang dibentuk dari, oleh dan untuk masyarakat. Yang membedakan dari ciri PKBM lain yang dikelola oleh lembaga (institution based) adalah keterikaitannya yang longgar terhadap institusi pemerintah maupun yayasan atau lembaga induk. PKBM institution based biasanya berafiliasi dengan yayasan atau ormas tertentu. Misalnya Pondok Pesantren. Sedangkan PKBM berbasis masyarakat lebih bersifat independent, dapat berbadan hukum LSM atau yayasan PKBM. Secara fisik, saat ini kebanyakan lembaga PKBM berbasis lembaga tentunya lebih mantab dan kokoh karena memiliki infrastuktur yang memadai dari lembaga induk. Sedangkan PKBM community based lebih dapat berkreasi dalam visi dan misinya.
Fungsi PKBM sebagai satuan pendidikan nonformal, yang utama adalah menyelenggarakan pelayanan pendidikan, baik pengajaran, pelatihan, bimbingan dan penyuluhan. Sedangkan fungsi lainnya adalah :
1. Sebagai pusat informasi
2. Sebagai pusat jaringan informasi serta jaringan kemitraan.
3. Sebagai pusat konsultasi, koordinasi dan komunikasi program PNF.
4. Sebagai pusat pembinaan tenaga kependidikan

2. PKBM Sebagai pusat pelayanan informasi
Permasalahan mendasar dari pendidikan Non Formal saat ini antara lain adalah “pencitraan” dari sebuah anggapan bahwa PNF adalah program pupuk bawang, asal-asalan, tidak jelas dan amatiran. Menurut W.J Clayton, anggapan itu tidak semata terbentuk melainkan sengaja dibentuk.
Pencitraan sebagai dimensi positif sebuah komunikasi, hendaknya sengaja dikelola dengan teknik tertentu untuk sebuah tujuan yang terarah dan jelas. Citra PNF yang belum positif seperti terurai diatas bisa jadi karena tidak terkomunikasikannya nilai-nilai positif yang terkandung dalam program PNF. Pembiasaan terhadap masyarakat (publik) membuat opininya sendiri adalah sebuah tindakan naïf dalam pencaturan ilmu komunikasi modern.
Pembentukan citra (pencitraan) merupakan proses mentransfer nilai-nilai yang kita kehendaki. Sehingga publik memiliki material yang cukup untuk menemukan sebuah kesimpulan.Dimana kesimpulan-kesimpulan tersebut akan digeneralisasikan menjadi sebuah anggapan.
Alat untuk mentransfer nilai tersebut bisa berwujud media masa ataupun non media. Media masa dapat berupa media cetak, media elektronik maupuncyber space. Sedangkan non media dapat berupa tindakan atau perbuatan yang dirancang untuk menimbulkan efek tanggapan sesuai yang dikehendaki.
Dalam fungsi inilah sebenarnya PKBM dapat dianggap agen komunikasi dan pencitraan bagi program PNF, karena keberadaannya secara visual dapat dilihat, di dengar dan dileburkan dalam komunitas masyarakat itu sendiri.

3. PKBM sebagai sumber informasi
Pentingnya informasi sebenarnya sudah disadari semua pihak yang memahami managemen modern. Tak kurang dari stick holder PNF sudah berulang kali meluncurkan teknologi informasi. Misalnya program “Virtual School” yang mengandalkan e-learning atau pembelajaran elektronik yang dicanangkan Dirjen PNF DR. Ace Suryadi. Namun demikian kita hanya berharap semoga program tersebut tidak bernasib sama dengan program TV Q-Channel, TV-e, ICDL dan sebagainya yang telah lebih dulu dilahirkan.
Konsep-konsep mendasar ilmu komunikasi yang hendak dibangun untuk membangun citra bahwa PNF tidak “kampungan” masih menjadi mimpi di siang bolong, karena tidak mengakar kepada basis pelaksanaan program di lapangan yang mungkin baru tahap mendengar yang namanya website, belum melihat apalagi menggunakan bahkan mengoperasikan.Tahun silam, ketika digalakkan program Q-Channel dengan menggandeng Indovision, Bela dan Dropping peralatan yang sudah siap pakaipun, jarang Pamong Belajar yang telaten melihat apalagi memberikan kontribusi pada acara tersebut. Ada juga Pamong Belajar yang dengan antusias belajar sinematografi, namun ketika SDM sudah siap, programnya sudah terlanjur bubar Apa mau di kata !!!
Apa yang terjadi di atas kurang lebih sama dengan kondisi PKBM yang justru sebagian besar dikelola secara relawan. Saya tidak berpendapat tidak professional, karena pengelola PKBM banyak yang telah menempuh pendidikan S-1 Pendidikan bahkan S-2 dan S-3. Banyak pula yang dikelola oleh para sarjana PLS yang mestinya ahlinya PKBM.
Pengelolaan yang masih amatiran (baca: sambilan) membuat PKBM tidak lebih dari kelompok pengajian di kampung. Gambaran ini untuk membandingkan dengan institusi satuan pendidikan lain. Misalnya, SKB, BPKB atau sekolah yang sudah dikelola dengan lebih baik.
PKBM berbasis masyarakat, memang merupakan institusi baru yang dimotori oleh Direktur Pendidikan Masyarakat DR. U. Sihombing sekitar tahun 1998/1999. Di usianya yang berkisar 10 tahun konsep PKBM terus berbenah dan mencitrakan diri sebagai satuan pendidikan PNF yang professional setara dengan satuan pendidikan lainnya.
Salah satu titik lemah PKBM berbasis masyarakat adalah tidak adanya dukungan sarana prasarana yang memadai. Lain dengan PKBM berbasis lembaga yang sudah agak lumayan karena sudah didukung oleh lembaganya. Paling tidak ndompleng induknya sehingga relatif lebih baik.
Sebagian besar PKBM berbasis mayarakat masih pinjam atau numpang di gedung-gedung SD, Madrasah atau pinjam dermawan lain. Sarana kantor juga numpang kerelaan hati pengelola. Belum lagi harus membayar listrik, sewa gedung, peralatan dan sebagainya. Sehingga pengelola PKBM itu benar-benar harus seperti seorang Sinterklas, harus berkorban banyak tenaga, fikiran dan hartanya pribadi. Sementara dia sendiri tidak ada yang menggaji.
Kalau sudah demikian ini sebuah keluarbiasaan sebetulnya apabila PKBM mampu eksis. Karena faktanya memang agak rumit dan hanya berada dalam ranah teori, untuk menggerakkan potensi masyarakat sementara lembaga penggeraknya masih belum dipandang eksis oleh masyarakatnya sendiri.
Adapula pengelola yang mencoba membuat kebijakan (ngakali:jawa) anggaran proyek, untuk menutup defisit anggaran operasional PKBM. Meskipun ini merupakan penyelewengan tetapi memang inilah jalan yang paling realistis untuk mempertahankan PKBM.
Konsep PKBM sebenarnya cukup bagus dan memungkinkan untuk berkembang secara professional apabila ditangani secara professional pula. Potensi berkembangnya PKBM tidak lepas dari proses, kebijakan dan dukungan semua pihak. Terutama kepiawaian pengelola dalam memanfaatkan potensi lokal yang ada di sekitarnya.
Salah satu faktor yang merupakan daya dorong bagi masyarakat di sekitar PKBM untuk mau dan tertarik dengan kegiatan PNF adalah “kepercayaan”. Kepercayaan disini dimaksudkan bahwa masyarakat meyakini bahwa PKBM adalah lembaga yang mampu:
1. Memberikan manfaat dan kegunaan bagi masyarakat dengan demikian PKBM hendaklah mengarahkan kegiatan nya kepada apa yang dibutuhkan masyarakat.
2. Menjaga akuntabilitas lembaga sehingga investor, donator ataupun relawan meyakini apa yang mereka berikan pada masyarakat melalui PKBM tidak salah sasaran dan sia-sia.
3. Kredibilitas, sehingga masyarakat meyakini bahwa program, produk dan kegiatan benar-benar dapat mencapai tujuan sesuai dengan rencana.

Kepercayaan bukan sesuatu yang dapat diwariskan atau dihibahkan dengan mudah.Kepercayaan adalah investasi mahal, karena membangun kepercayaan membutuhkan proses yang panjang, tentu didukung oleh biaya, tenaga dan pengorbanan yang tidak sedikit.
Dalam sebuah teori ekonomi modern kepercayaan atau Good Will dikategorikan menjadi sebuah account harta (aktiva). Karena Good Will memang dibangun menggunakan Cost (biaya) yang harus pula dipertanggumgjawabkan. Sebuah perusahaan bisa menganggarkan 30% dari biaya produksi untuk promosi (pencitraan).
Pencitraan adalah salah satu proses membangun Good Will yang membutuhkan Cost yang tidak sedikit. Namun demikian, kita bisa memaklumi bagaimana terjadinya “Perang Iklan” terhadap salah satu operator telephon seluler dan pesaingnya. Anda tentu berfikir bahwa citra adalah sesuatu yang sangat penting.
Citra pendidikan NonFormal juga sebaiknya dibangun dengan professional pula. Proses pencitraan bisa dilakukan dengan mentransfer nilai-nilai positif PNF kepada masyarakat, baik melalui komunikasi media masa elektronik, media cetak maupun cyber space ataupun dengan membiarkan masyarakat melihat, mendengar, dan menghayati sendiri program PNF dijalankan. Disinilah peran PKBM sebagai sumber informasi PNF mampu diperankan mengingat sat ini PKBM telah menjangkau hamper seluruh kecamatan di Indonesia.
Penyebaran informasi dan pencitraan sebenarnya tidak harus dengan biaya mahal kalau kita kreatifmemanfaatkan potensi lokal disekitar PKBM. Seperti hemat penulis, selaku Pengelola PKBM Bina Putra Bangsa Kecamatan Bungkal Ponorogo yang tidak perlu biaya sepeserpun untuk mencitrakan PKBM dengan teknik Media masa:
1. Dimuatnya kegiatan PKBM dalam tabloid Media Indonesia tanggal 2-8 Juli 2008 dengan menyelenggarakan event olahraga catur dengan menggandeng sponsor.

2. Dengan merilis informasi-informasi PNF dalam internet, baik dengan web blog sendiri (yang gratisan) yang di link dengan blog sejenis ataupun dengan mengkontribusikannya pada situs tertentu. PKBM Bina Putra Bangsa sudah merilis web yaitu http:// pkbmbinaputra.wordPress.Com/

P E N U T U P

Pencitraan melalui penyebarluasan informasi PNF merupakan hal yang sangat penting. Namun demikian belum semua PKBM mampu berpikir tentang fungsi PKBM sebagai pusat informasi PNF. Dalam masa pertumbuhannya PKBM masih berkutat pada fungsi utamanya sebagai lembaga pendidikan. Padahal fungsi PNF sebagai pusat informasi bisa berjalan secara parallel dengan kegiatan utama PKBM.

Catatan : Penulis adalah Pamong Belajar di SKB Kabupaten Nganjuk, Direktur PKBM Bina Putra Bangsa.

2. Home Shooling dan PKBM

Menarik tapi juga miris. Untuk kedua kalinya saya mendapat telpon dari ibu yang memiliki persoalan dengan sekolah anaknya. Kasus yang pertama, anak (kelas 1 SD) terlalu aktif di kelas sehingga gurunya merasa terganggu atau lebih tepatnya tidak sanggup menanggulangi. Secara halus sang guru menolak anak itu berada di kelas lewat dialog dengan orang tuanya. Mungkin mirip kasus Totto-chan ya.

Kasus kedua, sang anak (kelas 1 SMP)berulang kali mangkir dari sekolah dan berbohong pada orang tuanya. Dia lebih memilih singgah di rumah familinya daripada mengikuti pelajaran. Sang ibu sedih sekali, tapi mau bilang apa.

Meski kasusnya sedikit berbeda, yang jelas orang tua kedua anak ini akhirnya melihat homeschooling (HS) sebagai alternatif. Akan tetapi, hal “menakjubkan” ternyata harus mereka temui lagi di ranah homeschooling. Ketika lembaga pendukung HS mereka datangi, ternyata biaya yang ditawarkan membuat mereka tercengang. Jumlah pertemuan dengan tutor yang hanya 2 kali atau 3 kali seminggu dibayar jauh lebih mahal daripada pertemuan tiap hari di sekolah umum. Ya, mungkin juga bisa dikatakan wajar, karena gurunya dibayar dengan standar privat. Tetapi, bagi keluarga menengah, tetap saja hal itu sangat memberatkan.

Saya akhirnya katakan pada kedua ibu ini agar mereka mencari PKBM untuk mengurus masalah legalitas dan memperoleh draft kurikulum diknas sebagai acuan. Tapi, jelas kegiatan belajar menjadi tanggung jawab orang tua. Untuk mata pelajaran yang memang membutuhkan tutor, mereka bisa mengundang guru privat yang mau dibayar alakadarnya atau patungan dengan anak dari keluarga lain.

Pada kasus seperti ini, berpikir substansialis adalah obat. HS sendiri saat ini masih menggunakan jalur persamaan sebagai salah satu cara untuk mendapat legalitas, di samping juga ijazah formal jika bergabung dengan sekolah yang mau menaungi para homeschooler (umbrella school). Bagi keluarga yang tidak memungkinkan secara finansial untuk bergabung dengan lembaga-lembaga pendukung HS atau bekerja sama dengan “umbrella school”, PKBM adalah solusi yang paling mudah dan jauh lebih murah.

Kalau orang tua bisa serius mengelola kecenderungan belajar anak-anaknya, mampu menemukan bakat dan minat mereka, serta memfasilitasi pengembangan bakat dan minat itu dengan tepat, saya yakin hasilnya juga tak akan kalah dengan anak-anak HS yang bayar mahal ke lembaga-lembaga berorientasi profit. Seringkali, prinsip memanfaatkan fasilitas minimal dengan cara maksimal akan lebih berhasil mendongkrak berbagai hambatan dalam hal apapun.

Homeschooling mungkin hanya sebuah pilihan di antara pilihan-pilihan yang ada, namun untuk beberapa kasus (termasuk dua kasus yang saya ceritakan di atas), HS adalah jalan satu-satunya. Hanya saja, kini terjadi degradasi yang besar pada pelaksanaan HS. Sebuah model pendidikan yang harusnya bisa memerdekakan pikiran dan juga meninggalkan jauh bentuk-bentuk eksploitasi materil secara berlebihan, nyatanya berubah menjadi sarana baru pengerukan income. Entahlah, apa mungkin karena ini abad materialisme, sehingga model pendidikan alternatif apapun akhirnya berujung pada eksploitasi materil. Akhirnya saya hanya bisa bilang, selamat datang tantangan! ( link: pendidikan-rumah